Era disrupsi ditandai dengan perkembangan dunia digital yang begitu pesat dan menuntut para penggiat pendidikan untuk lebih kreatif dalam menghadirkan cara dan paradigma baru dalam proses belajar mengajar. Era disrupsi pendidikan ditandai dengan ketergantungan proses pendidikan dengan fasilitas sosial media dan perkembangan teknologi informasi lainnya.
Teknologi AI bernama ChatGPT yang diciptakan oleh Open AI, tengah menjadi perbincangan hangat dikalangan para akademisi karena kemampuannya yang dapat memahami pertanyaan manusia dan menghasilkan jawaban dengan tingkat akurasi yang tinggi dan humanis.
Dunia pendidikan di Indonesia tengah kebingungan untuk menyikapi kehadiran teknologi ini, beberapa kalangan menerimanya sebagai “teman”, namun tidak sedikit yang khawatir dan menganggap ChatGPT sebagai “lawan” atau sebuah disrupsi bagi dunia pendidikan.
Penggunaan ChatGPT dalam aktivitas pendidikan dapat meningkatkan kerentanan terhadap bias informasi, ketidakakuratan informasi, dan plagiasi. Selain itu, ChatGPT tidak dapat menjamin keabsahan sumber informasi dari setiap jawaban yang diberikan bagi penggunannya, hal ini dikhawatirkan dapat menghilangkan integritas, transparansi, dan kejujuran dalam dunia pendidikan.
Kemajuan pendidikan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi informasi dan internet harus disikapi dengan bijak, jangan sampai berbagai kemudahan yang tersedia mengikis tujuan-tujuan dasar pendidikan untuk mencetak generasi yang cerdas, unggul, kompetitif serta mempunyai adab dan akhlak yang baik.
Menanggapi hal tersebut, banyak kalangan rektor, dosen, maupun guru mengusulkan untuk kembali menggunakan cara-cara konvensional khususnya saat menjalankan ujian dengan menggunakan paper based. Alasannya sederhana, agar setiap hasil buah pikiran peserta didik dapat dideteksi melalui verifikasi langsung dari pengujinya.
Diharapkan ada jalan tengah yang menjadi solusi hal tersebut, tidak dapat dipungkiri ChatGPT telah menjadi angin segar yang berpotensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun tetap diperlukan sebuah “pagar” dalam penggunaan teknologi tersebut, agar nilai-nilai dalam proses belajar mengajar tetap dapat dijalankan.
Listen on spotify
Latest Posts
- Mimpi Prabowo Bangun Kampung Haji di Mekkah Dapat Restu Arab Saudi
- PDIP Tak Ingin Ganti Sekjen Meski Hasto Kristiyanto Dituntut 7 Tahun Penjara
- Usai Laporan Jokowi, Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Roy Suryo
- Sri Mulyani Sebut Indonesia Butuh Investasi Rp 7.500 Triliun di 2026
- Kesal pada Jaksa, Tom Lembong Makan Gula Rafinasi di Depan Hakim