Kebijakan pemerintah untuk melegalisasi tambang ilegal menuai peringatan serius dari anggota DPR. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Beniyanto Ramoreka, mengkhawatirkan langkah ini justru bisa dimanfaatkan oleh mafia tambang untuk sekadar “berganti baju” dari ilegal menjadi legal, tanpa menyelesaikan akar permasalahannya.
Peringatan ini disampaikan menanggapi wacana pemerintah yang berencana mengelola tambang ilegal melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Menurut Beniyanto, hal ini berisiko besar jika tidak diiringi dengan penguatan penegakan hukum yang nyata.
“Jika penegakan hukum tidak diperkuat, mafia tambang hanya akan ‘berganti baju’ menjadi legal,” ujar Beniyanto dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (21/8/2025).
Ia mengingatkan bahwa praktik mafia tambang selama ini telah menyedot kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah per tahun, disertai dengan kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial yang tak terhindarkan. Tanpa hukum yang kuat, legalisasi justru bisa membuat negara mengalami kerugian ganda: kehilangan penerimaan negara dan terus menerus menanggung dampak kerusakan alam.
Skema IPR Harus Selektif dan Terkendali
Beniyanto menekankan bahwa penggunaan skema IPR untuk melegalkan tambang rakyat harus dilakukan secara sangat selektif dan dengan tata kelola yang ketat. IPR, dalam pandangannya, harus menjadi alat pengendalian, bukan justru menjadi pembenaran untuk aktivitas ilegal.
Ia juga menyoroti bahwa skema ini seharusnya hanya relevan untuk bahan galian skala kecil tertentu (golongan C), seperti batu kapur, batu permata, atau batu apung. Sementara untuk komoditas yang bernilai tinggi dan berisiko besar seperti nikel, bauksit, dan batubara, skema IPR dinilai tidak tepat.
“Legalisasi tambang rakyat tidak bisa dilakukan serampangan. Kalau semua dilegalkan tanpa kerangka pengawasan, ini justru akan menjadi bom waktu bagi sektor minerba,” tegasnya.
Saran untuk Mencegah Kerugian Negara
Agar legalisasi benar-benar menjadi solusi, Beniyanto memberikan sejumlah masukan. Pertama, pemetaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) harus berbasis data geologi yang akurat untuk mencegah tumpang tindih dengan konsesi pertambangan resmi.
Kedua, pengelolaan tambang yang dilegalkan sebaiknya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau koperasi untuk memastikan rantai pasok yang transparan. Terakhir, digitalisasi pencatatan produksi dan distribusi mutlak diperlukan untuk memantau pergerakan hasil tambang dan menekan kebocoran pendapatan negara.
Presiden Prabowo Menyoroti Kerugian Triliunan
Pentingnya penanganan serius terhadap tambang ilegal juga disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR. Prabowo menyatakan openness untuk melegalkan tambang yang dikelola rakyat, tetapi dengan catatan harus diatur dengan sangat ketat.
“Kalau rakyat yang nambang ya sudah kita bikin koperasi, kita legalkan, kita atur… tapi jangan alasan rakyat tahu-tahu nyelundup. Nyelundup ratusan triliun,” ujar Prabowo.
Ia mengungkap tambah mengejutkan: terdapat 1.063 titik tambang ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia. Aktivitas ilegal ini dilaporkan menyebabkan potensi kerugian negara yang sangat fantastis, minimal mencapai Rp 300 triliun. Prabowo pun meminta dukungan dari semua pihak untuk bersama-sama menindak tegas praktik yang merugikan bangsa ini.
Dengan demikian, wacana legalisasi tambang ilegal berada di persimpangan. Di satu sisi, ia bisa menjadi solusi untuk mendongkrak ekonomi daerah dan mengatur aktivitas yang sudah berjalan. Di sisi lain, tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang ironclad, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang yang hanya menguntungkan para mafia yang berganti baju.
Bagi sobat andi yang tertarik dengan topik seputar kebijakan, dapat membaca buku berjudul “PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN DI INDONESIA PROBLEMATIKA, PRAKTIK, DAN BANGUNAN HUKUM” melalui link dibawah ini.
Baca disini: PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN DI INDONESIA PROBLEMATIKA, PRAKTIK, DAN BANGUNAN HUKUM.