Polemik perpindahan status empat pulau—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—dari wilayah administrasi Aceh ke Sumatera Utara terus memicu kontroversi. Anggota DPR dari daerah pemilihan Aceh I, Muslim Ayub, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini bisa memicu ketegangan baru di Aceh.
Menurut Muslim, seluruh anggota DPR asal Aceh sepakat menolak kebijakan tersebut. Ia menegaskan, pemerintah pusat tidak boleh mengambil langkah gegabah yang berpotensi membuka luka lama masyarakat Aceh. “Jangan buat masalah baru di Aceh. Masalah lama saja belum sepenuhnya tuntas,” ujarnya, Rabu (11/6).
Empat pulau tersebut selama ini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Muslim menilai, pemerintah tidak memiliki dasar kuat untuk mengubah statusnya. Ia juga menyebut masyarakat setempat selama ini telah mengantongi dokumen sah, termasuk prasasti yang dibangun Pemkab Aceh Singkil pada 2008 sebagai penanda wilayah.
“Ini bukan perkara sepele. Jangan buat kebijakan yang justru merugikan rakyat. Banyak investasi besar, bahkan dari Dubai, sudah tertarik ke sana. Jangan sampai keputusan ini mengganggu potensi itu,” tambah politikus Partai NasDem ini.
Permintaan Muslim tidak main-main. Ia mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk meninjau ulang Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menjadi dasar perubahan status tersebut. Ia khawatir masyarakat yang selama ini menggunakan KTP Aceh harus menghadapi proses administrasi baru akibat perubahan ini.
Di sisi lain, Tito Karnavian membantah tudingan adanya kepentingan khusus dalam keputusan tersebut. Ia menjelaskan, perpindahan status dilakukan setelah batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat. “Batas daratnya sudah disepakati kedua pihak, tinggal batas lautnya yang perlu klarifikasi,” kata Tito di Istana Kepresidenan, Selasa (10/6).
Sengketa ini kini menjadi ujian bagi pemerintah pusat. Di satu sisi, upaya menyelesaikan konflik batas wilayah secara objektif menjadi alasan utama. Di sisi lain, sensitivitas sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang rawan terluka kembali tak bisa diabaikan. Pertemuan antara pihak terkait pun menjadi harapan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Bagi sobat andi yang tertarik dengan topik seputar manajemen konflik, dapat membaca buku berjudul “MANAJEMEN KONFLIK : Tinjauan Konsep, Realitas, dan Pengelolaan Konflik” melalui link dibawah ini.
Baca disini: MANAJEMEN KONFLIK : Tinjauan Konsep, Realitas, dan Pengelolaan Konflik.