Peradilan yang bersih dan jujur adalah fondasi utama dalam penegakan hukum. Menyambut pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada Januari 2026, sorotan publik tertuju pada salah satu delik baru: Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan.
Di dalamnya, Pasal 278 KUHP Nasional hadir sebagai penjaga gawang yang bertujuan melindungi integritas proses peradilan dari berbagai bentuk manipulasi.
Lingkup dan Maksud Pasal 278
Hakim Pengadilan Negeri Wonosari, Ni Ageng Djohar, menjelaskan bahwa Pasal 278 mengkriminalisasi beberapa perbuatan serius. Mulai dari memalsukan bukti, merusak atau menghilangkan alat bukti, melakukan “joki kasus”, hingga yang dinilai paling problematis: mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu.
“Pasal ini hadir bukan sekadar untuk menghukum, tetapi untuk melindungi kesucian proses peradilan itu sendiri. Peradilan adalah sarana mencari kebenaran, sehingga setiap upaya untuk menyesatkannya harus dipandang sebagai tindak pidana serius,” ujar Ni Ageng dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD).
Tantangan Pembuktian yang Rumit
Meski mulia tujuannya, penerapan pasal ini tidak lepas dari tantangan. Kesulitan utama terletak pada frasa “mengarahkan saksi”. Dalam praktik, sangat sulit membuktikan apakah seorang saksi memberikan kesaksian palsu atas kemauannya sendiri atau karena diarahkan oleh pihak lain.
Ni Ageng menggambarkan situasi ini seperti kasus suap, dimana kedua pihak—pemberi dan penerima—sama-sama enggan mengaku. “Kalau saksi mengaku diarahkan, ia berisiko dipidana atas sumpah palsu. Di sisi lain, pihak yang diduga mengarahkan pasti akan membantah,” jelasnya.
Ia mengingatkan pada kasus Sengkon dan Karta (1974) yang memakan waktu bertahun-tahun sebelum kekeliruan putusan terungkap. “Kasus klasik itu melahirkan norma peninjauan kembali. Kini, Pasal 278 hadir agar manipulasi serupa dapat dicegah sejak awal,” tambahnya.
Ancaman Pidana yang Signifikan
Senada dengan Ni Ageng, Hakim Pengadilan Negeri Majalengka, Solihin Niar Ramadhan, menilai ketentuan ini sebagai langkah progresif. Namun, ia menekankan bahwa ancaman pidananya yang berat menjadi ciri khas delik ini.
Pasal 278 Ayat (1) mengancam pelaku dengan pidana penjara maksimal 6 tahun. Hukuman ini bisa meningkat menjadi 7 tahun 6 bulan jika perbuatan dilakukan dalam persidangan, dan bahkan mencapai 9 tahun jika pelakunya adalah aparat penegak hukum.
“Yang lebih signifikan, jika perbuatan itu sampai mempengaruhi putusan, ancamannya ditambah sepertiga. Artinya bisa mencapai 12 tahun penjara. Dari sisi kebijakan kriminal, ini jelas menempatkan delik ini sebagai kejahatan berat,” ujar Solihin.
Tingginya ancaman minimum—yang sudah di level 6 tahun—juga menutup opsi bagi pelaku untuk mendapatkan pidana alternatif seperti kerja sosial. “Pasal ini adalah pengecualian. Pesannya jelas: negara tidak bisa mentolerir manipulasi dalam peradilan,” tegas Solihin.
Penutup
Keberadaan Pasal 278 dalam KUHP Nasional adalah komitmen untuk menjaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan. Meski tantangan pembuktiannya nyata, norma ini menjadi peringatan keras bahwa setiap upaya menodai proses pencarian kebenaran di pengadilan akan berhadapan dengan konsekuensi hukum yang sangat serius. Pada akhirnya, yang dilindungi adalah keyakinan masyarakat terhadap institusi peradilan yang bersih, jujur, dan adil.
Bagi sobat andi yang tertarik dengan topik seputar KUHP, dapat membaca buku berjudul “KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Penjelasannya Terbaru & Terlengkap” melalui link dibawah ini.
Baca disini: KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Penjelasannya Terbaru & Terlengkap.