Kasus dugaan korupsi di Pertamina, termasuk isu BBM oplosan, mengungkap kerugian negara hingga Rp1.000 triliun, mengindikasikan kejahatan ekonomi yang terstruktur dan berakar puluhan tahun.
Aktivis Khalid Zabidi menegaskan, pengoplosan BBM hanya bagian kecil dari praktik korupsi massif yang melibatkan permainan impor, manipulasi distribusi, dan kolusi broker di sektor hulu hingga hilir.
Pertamina, yang seharusnya menjadi penopang ketahanan energi, justru menjadi ladang rente bagi elite politik dan mafia migas, dengan sistem pengawasan yang lemah dan intervensi kekuasaan yang mengakar.
Kasus ini harus menjadi momentum reformasi struktural. Berbeda dengan perusahaan seperti Aramco atau Shell yang transparan dan efisien, Pertamina masih terjebak dalam praktik politisasi dan monopoli.
Menteri BUMN Erick Thohir telah memulai evaluasi total, tetapi perubahan harus lebih radikal: memperkuat audit independen, membuka data impor, dan menindak tegas pelaku korupsi. Tanpa transparansi dan kompetisi sehat di sektor migas, mafia akan terus beroperasi, mengorbankan kepentingan publik dan keuangan negara.
Meski apresiasi layak diberikan kepada upaya penegakan hukum, publik menuntut lebih: perombakan sistemik untuk mencegah skandal serupa. Jika hanya menghukum individu tanpa memperbaiki tata kelola, Indonesia akan terjebak dalam siklus korupsi.
Kasus Pertamina harus menjadi titik balik untuk membangun BUMN yang profesional, berintegritas, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat—bukan sekadar alat kekuasaan. Momentum ini tak boleh disia-siakan.
Bagi sobat andi yang tertarik dengan topik seputar korupsi, dapat membaca buku berjudul “Koruptor Go To Hell !! ” melalui link dibawah ini.
Baca disini: Koruptor Go To Hell !!.